JEJAK PENA 2012

New-Year-2013-Celebration-Wallpaper-600x450

TAHUN 2012 akan tertinggal. Semua akan menjadi kenangan pada masa tahun 2012.  Dengan usaha, harapan, dan doa, inilah namaku yang tercatat pada beberapa media selama tahun 2012.

1. Lima belas karya di Waspada
2. Tujuh karya di Serambi Indonesia
3. Tujuh karya di Medan Bisnis
4. Enam karya di DETak Universitas Syiah Kuala (USK)
5. Lima kaya di Batak Pos
6. Dua karya di Lintas Gayo
7. Satu karya di Suara Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU)
8. Satu karya di Atjeh Post

Buku Antologi Bersama:
1. cerpen “Setia” antologi “Siapakah Aku Ini, Tuhan?”
2. cerpen “Togar” buku cerita komedi
3. cerpen “Ayahku berkaki satu” antologi “Negeri dalam Sepatu”

Mudah-mudahan tak ada yang terlupa. Saya mulai menulis Desember 2011. Namun vakum & berhenti di bulan suci Ramadhan sekitar 2 bulanan lebih (sangat disayangkan hal ini, tapi apa boleh buat). Setelah lebaran, saya mencoba menulis lagi.

SEMOGA TAHUN 2013, JEJAK PENA SAYA JAUH MELEBIHI INI SEMUA. Saya bercita-cita akan mengejar lebih banyak media di tahun 2013. AMIIN YA RABBI.

Terlepas dari semua itu, saya mengucapkan SELAMAT TAHUN BARU 2013, SEMOGA KEBAHAGIAAN MENJADI MILIK KITA BERSAMA.SEMOGA CITA-CITA YANG BERLUM TERCAPAI AKAN TERWUJUD DI TAHUN 2013. HAPPY NEW YEAR

(Sumber Foto Lucky WF)

Senyum Pahlawan Tangis Si Miskin

Oleh Mihar Harahap

[Sumber: Harian Waspada, 31 Desember 2012]

“Ia dikejar penjajah. “Laknat kalian penjajah!” katanya/Sebuah peluru menghunus tubuhnya/Membuat senyum mengembang dari bibirnya/Menahan sakit yang diderita/Ia terbaring memeluk senjata/Mengingat anak istri menunggu di rumah/Dari tubuhnya mengalir darah/Asa dan cita telah tercapai/Ia hanya ingin negeri ini merdeka!” (petikan puisi “pahlawan” karya Ramajani Sinaga)

Bentuk puisi ini sederhana, biasa-biasa saja, bahkan dengan segala kekurangannya, akan tetapi saya menangkap ada makna lain (entah diilhami pemuisi lain atau tidak) yang ingin disampaikan. Begini, kalau peluru menghunjam tubuh, biasanya orang akan mengaduh, mengerang kesakitan. Pada puisi ini ini, ‘ia’ yang dikejar penjajah, tertembak, menumpah darah dan menahan sakit, tetapi tidak mengerang, tidak menyesal sedikitpun, melainkan tersenyum. Senyum pahit karena senyum menahan sakit.

Dalam kondisi gawat darurat dan senyum pahit disakratul maut itulah, ia ingat anak istri. Bahkan ia sadar, sepeninggalnya, nasib anak menjadi yatim, sedang istri menjanda. Namun ‘asa’ dan ‘cita-cita’ (kemerdekaan bangsa suatu negara) menurutnya, melebihi kepentingan anak-istri, kepentingan sanak-keluarga atau kepentingan apapunn. Jadi, ia telah perjuangakan kemerdekaan dengan keikhlasan dan pengorbanan, selanjutnya biarlah bangsa-negara memelihara anak-istrinya, sedang Tuhan akan melindunginya.

*Penulis adalah Kritikus Sastra dan Dosen FKIP-UISU Medan