Karya Ramajani Sinaga
[Sumber: Detak Unsyiah, 29 Mei 2012]
Basyir duduk melamun dengan badan menjorok di tepi laut. Wajahnya keriput terlihat murung. Matanya terus memandangi lautan biru yang luas tak ada habisnya, matanya merah seakan menahan tumpahan air mata. Entah masalah apa yang sedang merasuki pikirannya. Yang jelas, sejak kedatangan orang-orang berbadan tinggi dan bertubuh tegap ke kampungnya, Basyir lebih banyak melamun dan terlihat murung di tepi pantai menghadap air laut.
Basyir hidup sebatang kara, istri dan anaknya tertelan ombak tsunami tujuh tahun lalu. “Tujuh tahun sudah mereka pergi dipanggil Ilahi, seandainya mereka ada di sampingku. Pasti, mereka akan lebih mengerti kegalauan hatiku,” gumamnya pelan, suaranya tidak terdengar karena suara deburan ombak biru di bibir pantai.