Fanatisme dalam Politik

[Dimuat di Harian Analisa, 21 Mei 2019]

Bertolt menegaskan kalau buta terburuk adalah buta politik. Kebutaan politik yang dimaksud Bertolt membuat saya acap bertanya-tanya. Apakah rakyat kita cedera buta politik? Pada akhirnya, pertanyaan itu terjawab ketika membaca tajuk berita: beda pilihan dalam Pilpres dua orang di Sampang berduel hingga satu di antaranya meninggal dunia, dua kuburan dibongkar gara-gara beda pilihan caleg, jenazah nenek Hindun ditelantarkan warga setelah beda pilihan, dan gara-gara beda pandangan politik, 651 pasangan bercerai. Dari semua judul berita itu mau tidak mau kita harus mengakui kalau kita memang sedang cedera buta politik. Ya, buta tanpa setitik cahaya yang bernama keintelektualan. Tidak punya arah pandangan, tuntunan, sibuk meraba-raba, tersesat, dan lalu terjatuh dan tercebur pada got hitam yang bersifat kontra­diksi.

Sungguh memang betapa dahsyatnya political effect Pemilu kepada masyarakat. Ini menunjukkan kalau euforia masyarakat dalam pesta demokrasi rakyat dewasa ini sedang memanas.  Bahkan cenderung sangat mengerikan ketika dalam level self-righteousness atau perasaan berlebih yang membuat tidak toleran.

Fenomena politik ini malah dan akan semakin sensitif serta kerap memicu perdebatan antara kubu-kubu yang sedang berlawan. Tidak dapat dipungkiri lagi, kubu “kekeuh” ingin dua periode dan “kekeuh” ingin ganti presiden misalnya, telah melahirkan massa pendukung akut dan bahkan telah menyentuh masyarakat di level bawah. Kalau ditilik lebih jauh, pendukung masing-masing kubu justru telah melahirkan gerakan fanatisme bahkan sampai melakukan hal ekstrem.

Indikasi gerakan-gerakan fanatisme ini, misalnya enggan membuka diri dan “meng­hamba” pada politikus. Artinya, pendukung-pendukung fanatik ini acap membenarkan dan sangat kentara mendukung secara mutlak perkataan, tindakan, maupun keputusan yang dilakukan politikus tertentu sekalipun itu salah. Sebaliknya, gerakan ini selalu menolak, menghujat, dan bahkan memfitnah apapun keputusan, tindakan, perkataan lawan politikus idola sekalipun itu benar.

Tanpa disadari gerakan fanatisme “buta hati” ini lalu me­nentang orang-orang yang tidak sesuai dan sejalan. Tindakan ini, kata­kanlah tindakan kehilangan nalar untuk ber­pikir cerdas dalam berdemokrasi, sebenarnya sudah dapat dikatakan se­ba­gai fanatisme. Ini memang selaras dengan pengertian fanatisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fa­natisme adalah keyakinan (ke­percayaan) yang terlalu kuat terhadap ajaran. Lebih ironisnya, fanatisme sudah dalam level berlebih dari sekadar meyakini dan mem­percayai politikus.

Hal-hal tertentu memang bisa ditimbulkan dengan sengaja pada dunia politik, misalnya, menelan mentah-mentah berbagai doktrin-doktrin politikus dan formula politik busuk, di antara­nya termasuk penggiringan opini dalam kampanye hitam, memanipulasi data demi dukungan, dan menimbulkan stereo­tipe buruk pada kelompok tertentu, yang jelas akan mensugesti massa pendukung da­lam jumlah besar. Pendukung ini lalu terin­dikasi untuk memuja-muja (mengagung-agungkan) dan membenci politikus tertentu. Inilah yang dinamakan propaganda politik. Padahal sejatinya, eksistensi politik di level tinggi tidak mengenal kawan maupun lawan abadi.

Jika gerakan fanatisme ini terus dijaga, dilindungi, dan di­­rawat dengan atau sengaja oleh para politikus ulung yang sedang meraup keuntungan, tidak menutup kemungkinan tim­bul­nya fenomena in-group dan out-group di dalam hidup bermasyarakat kita. In-group adalah bentuk kelompok sosial yang lebih mengidentifikasikan dirinya dalam kelompok ter­ten­tu dengan perasaan kelompoknya yang paling benar dan tanpa cela, sedangkan out-group adalah lawan kelompok (lawan in-group) dengan perasaan tidak menyukai ke­lompok berbeda paham. Jelas hal ini membuat rakyat semakin terkotak-kotak dalam kondisi yang menyedihkan dan mem­buat indikasi timbulnya politik tidak sehat.

Dan seperti yang dinyatakan Susanti (2014), “Situasi per­saingan antarkelompok politik yang ada tidak sesederhana yang dibayangkan. Ada kalanya, persaingan yang terjadi meng­arah pada tindakan-tindakan fatal. Yakni ketika terdapat anggota kelom­pok yang memiliki pola sikap cukup fanatik terhadap kelompoknya sendiri, menanamkan feeling in-group yang cukup dalam.”Jelas sekali ini bertentangan dengan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. Padahal nilai-nilai kebhinnekaan, yang katanya berbeda-beda tetapi tetap satu, sudah ditempa pada kita bahkan sejak masih ingusan.

Bila berkaca pada negara lain, hal seperti ini nyaris tidak pernah terlihat di negara maju. Di Jepang misalnya, meskipun suara masyarakat terbelah sesuai afiliasi pilihan politik , level mendukung masyarakat Jepang bisa dalam kategori berintelek­tu­al, cerdas, sangat matang dalam hidup berde­mokrasi seka­li­gus tahu kebijakan-kebijakan revolu­sio­ner yang menyejahte­ra­kan. Politikus Jepang (di level tertinggi) bertarung sehat da­lam hal gagasan, ide, maupun kebijakan yang akan di­implementasikan tanpa membuat rakyat Jepang in-group dan out-group. Kasih Elia LG, mahasiswi Sastra Jepang, menyam­paikan bahwa masyarakat Jepang sudah bisa mengerti fungsi kampanye. Orang Jepang bersikap anteng karena mereka ma­sing-masing punya kesadaran dan pemerhati politik yang tinggi, yang dengan cara memilih dengan melihat visi dan misi dari para kandidat dan persentase kemungkinan berha­sil­nya program yang akan dijalankan tanpa harus membuat diri mereka menjadi fanatik. Ini semestinya menjadi pelajaran mulia untuk bangsa besar kita dan betapa kita harus me­ngakui kita masih tertinggal dalam keinte­lektualan politik.

Fanatisme alias cinta buta memang bisa lahir pada diri individu tertentu. Katakanlah ini penyakit kejiwaan dan atau dasarnya bukanlah sifat fitrah dari seorang manusia, melainkan rekayasa yang ditimbulkan. Dalam sudut pandang sosiologis, fanatisme bisa lahir karena faktor bentukan lingkungan, ke­luar­ga, dan penanaman berupa nilai-nilai yang ditu­runkan amat kuat secara terus menerus. Nilai kesukaan dan kebencian (dislike of the unlike) tanpa dasar argumen. Saya yakin ini se­jalan dengan paham primordial yang sangat akut. Primordial adalah paham yang dipegang teguh akan suatu hal, yang sejatinya sudah ditanamkan sejak dini. Primordial terjadi ka­rena sikap untuk melestarikan keutuhan suatu kelompok tertentu yang menimbulkan cinta yang berlebihan (narcisisme). Di sisi lain, dari sudut pandang psikologis, seorang indi­vidu memang punya naluri batin untuk me­nyukai atau membenci sesuatu dan men­dorong sifat egoisme. Itulah akar-akar yang memetakan seseornag fanatik.

Kerugian Fanatisme

Tindakan fanatisme ini justru membuat banyak kerugian. Pertama, timbulnya keben­cian yang amat tinggi terhadap lawan idola politik bahkan setelah kelompok lawan me­me­gang tampuk pemerintahan. Kedua, sikap kritis terhalang idealisme politik sempit. Warga negara tidak tahu formula politik kritis. Ini lebih celaka lagi kalau generasi muda ikut dalam fanatisme politik. Dalam hidup berdemokrasi, negara membutuhkan generasi muda yang kritis terhadap perjalanan politik negara­nya. Ketiga, akan muncul konflik yang berkepanjangan, saling menyalahkan antara kubu yang satu dengan kubu lain. Setiap pendukung dengan mudah diprovokasi demi kepen­tingan politikus. Masyarakat di level bawah hanya dijadikan alat untuk menggapai kursi kekuasaan di atas sana. Akhir-akhir ini, malah muncul satu gerakan fanatisme yang lebih konyol, ialah golongan putih (golput) yang pada akhirnya menjadi sebuah gerakan untuk melawan dua kubu lain.

Pemerintah semestinya perlu berpikir positif terhadap kebijakan politik dan pengarahan gerakan massa sehingga pendukung berbicara politik dengan rasional dan berpikir politiknya semakin dewasa. Inilah cara berpolitik yang di­bangun dengan akal sehat. Di sisi lain, fanatisme jangan sam­­­­­pai dianut masif oleh massa pendukung. Berpolitiklah de­ngan gagasan dan berbuat sebagaimana sebenarnya ber­politik cerdas dan berpikir rasional.

Jangan biarkan fanatisme mendarah daging dalam diri dan atau massa tertentu. Kepercayaan dan dukungan tentu di­per­lu­kan, tapi sifat berpikir secara kritis perlu dilakukan. Jangan sampai karena terlalu fanatik terhadap sesuatu sehing­ga me­mu­suhi kelompok lawan, ibarat petuah Simalungun ‘mar­tappuk do bulung, marbona do sakkalan, marnata do suhut, i tongah andaran’ (Walaupun kita jamak dan banyak tetapi keluarga tetaplah dijaga). Masyarakat yang melek politik selalu perlu untuk menjiwai nilai-nilai pancasila, nilai ke­bhinne­kaan, dan yang utama tidak bertendensi terhadap ke­pentingan politik yang merusak intelektual bangsa.

Gerakan fanatisme politik ini tentu dapat memantik amarah dan cenderung mengalami konflik dengan pihak lawan. Terlebih-lebih sampai harus memunculkan rasa kebencian dan pertikaian yang dapat menggerus ikatan perasaudaraan sesama. Sungguh lebih mengkhawatirkan lagi kalau sampai melakukan tindakan destruktif dalam kondisi yang mem­prihatinkan.

Akhirnya, jangan pernah biarkan politikus ulung yang sedang duduk di kursi kekuasaannya tersenyum lebar kalau indikasi fanatisme ini semakin merajalela tidak terbendung dalam hidup bermasyarakat. Cara menaklukkannya adalah dengan cerdas, ber­intelek, rakyat yang memilih, rakyat yang kritis, dan tidak fanatik. Semoga kita tidak pernah memeluk fanatisme politik ini. Sekali lagi, semoga! ***

Penulis, guru pembina Petra (Pecinta Sastra) Methodist Banda Aceh dan alumni FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyiah angkatan 2011.

Baca lebih lanjut

Mahasiswa PBSID BBG Adakan Diskusi Sastra dengan Cerpenis Nasional Ramajani Sinaga

BANDA ACEH, BBG NEWS—Mahasiswa PBSID STKIP BBG mengadakan pertemuan dengan Cerpenis Ramajani Sinaga. Pertemuan berlangsung di Taman AAC Dayan Dawood Unsyiah, Kamis (18/12). Kegiatan tersebut merupakan bagian dari program mata kuliah Prosa Fiksi dan diskusi rutin Komunitas Sastra Balee Pena. Mahasiswa PBSID sangat antusias berdiskusi dengan sastrawan muda yang berasal dari Medan tersebut. Sang cerpenis banyak memaparkan tentang kiat-kiat menulis sastra yang baik.

Mustika Rahayu, seorang peserta diskusi menyatakan bahwa ia sangat senang bertemu dengan penulis terkenal itu. Banyak pengalaman hidupnya yang sangat menginspirasi. Selain itu, gaya penyampaiannnya yang menarik dan kocak menambah hidup suasana. “Kami belajar banyak hal dari abang penulis, khususnya tentang teknik menulis cerpen,” ujarnya.

Sementara itu, Ramajani Sinaga menyatakan bahwa ada tiga yang perlu dilakukan supaya kita menjadi seorang penulis yang sukses yakni banyak membaca, menulis karya unik, dan berkawan dengan penulis. “Banyak isu menarik daerah pedalaman yang belum terekpos. Tugas kalian sebagai orang pribumi untuk mengangkatnya dalam bentuk tulisan,” ujarnya.

Ramajani Sinaga merupakan seorang cerpenis nasional. Karya-karyanya banyak dimuat di media lokal dan nasional seperti Femina, Kompas, Sinar Harapan, Majalah Story, Medan Bisnis, Waspada, Analisa, Serambi Indonesia dan lain sebagainya. Buku kumpulan cerpennya yang baru terbit berjudul Keumala.

Sumber: http://www.stkipgetsempena.ac.id/bbg-news/mahasiswa-pbsid-bbg-adakan-diskusi-sastra-dengan-cerpenis-nasional-ramajani-sinaga.html

Resensi : KISAH-KISAH NYESEK KKN

kisah2-nyesek-kkn-minggu-22-april-2018.jpg

Oleh Siti Nuryanti

Perguruan Tinggi merupakan salah satu agen perubahan bangsa. Salah satu visi perguruan tinggi adalah pengabdian masyarakat. Sudah menjadi budaya setiap universitas mempunyai program pengabdian masyarakat atau yang dikenal dengan program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Universitas menerjunkan para mahasiswa ke masyarakat sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana.  Program ini bertujuan agar mahasiswa dapat bertukar pikiran dengan masyarakat dan memberi sumbangsih agar potensi masyarakat dapat berkembang.

Lokasi KKN biasanya selalu di pedesaan yang jauh dari perkotaan  dengan sarana dan prasarana terbatas. Hal ini dimaksudkan agar para mahasiswa belajar tentang kesederhanaan secara langsung dari masyarakat.

Buku ini berisi kisah nyata para mahasiswa saat melakukan kegiatan KKN.  Ada dua puluh empat penulis yang menceritakan pengalamannya, dari kisah yang lucu,  drama, kriminal, romantis hingga kisah horor saat di lokasi KKN.

Dalam keterbatasan fasilitas dan sarana prasaran, para mahasiswa menjalani program KKN ini dengan hati yang ringan. Kegembiraan terlihat dari sebagian besar kisah lucu mereka di lokasi KKN yang diceritakan di buku ini. Seperti kisah Ramajani Sinaga berjudul Lele Kuning, menceritakan kesulitan membuang hajat dikarenakan lokasinya yang jauh, hingga akhirnya buang hajat di kantong plastik. Kisah lucu lainnya dari Bustamin, pada saat tidur, diberaki ayam yang ikut tidur di sudut rumah, karena rumah tersebut tidak punya bilik kamar.  Kisah kriminalitas di lokasi KKN yang dialami LD. Lustikasari menjadi kisah tersendiri, saat seorang penduduk dibegal oleh komplotan begal anak muda di kampung tersebut, rombongan KKN tidak tahu cara mengatasinya, namun dengan ketegasan ibu kadus, para begal tersebut menjadi takluk. Masih banyak kisah lainnya yang dapat diambil nilai positif dari masing-masing kisahnya.

Buku ini dapat menjadi rujukan bagi para mahasiswa yang akan menjalani program KKN, sehingga dapat mempersiapkan diri dalam menghadapi hal-hal yang dapat terjadi di lokasi KKN. Dikemas dengan gaya bahasa yang ringan dan kocak sehingga pembaca dapat terhibur. Bagi dinas intansi terkait, dengan membaca buku ini dapat mengetahui kondisi masyarakat pedesaan, baik dari segi sarana-prasarana, sosial budaya maupun perekonomiannya. Dengan demikian diharapkan sumbangsih dari pemerintah maupun para mahasiswa dapat makin meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan.

*) dimuat di Kedaulatan Rakyat Minggu, 22 April 2018